Selasa, 26 Juli 2016

segera tuntaskan pelanggaran Ham Teradap mahasiswa papua di jokjakarta.





Aliansi Peduli Kemanusiaan Lebih dari setengah abad yang lalu tepatnya sejak 1 Oktober 1965, kekuasaan Orde Baru berdiri tanpa gugatan berarti. Selama 32 tahun sang diktator melanggengkan kekuasaannya. Membangun dinasti di atas pembungkaman demokrasi dan pengkebirian hak asasi. Terus menerus menggerogoti negeri demi keuntungan pribadi. Tidak terhitung berapa banyak nyawa dan aset vital yang menjadi korban. Mirisnya, pelaku pelanggar HAM terberat ini justru dianugerahi gelar Bapak Pembangunan. 21 Mei 1998, reformasi memang berhasil menyingkirkan diktator Soeharto. Tetapi pergantian penguasa terbukti tidak banyak merubah keadaan. Hal ini dikarenakan perangkat-perangkat penting di wilayah ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya tidak banyak berubah dan masih tetap dipegang oleh antek-antek Orde Baru. Kehidupan masyarakat Indonesia hari ini yang kian memburuk adalah warisan dari politik Orde Baru yang tak pernah betul-betul diputus oleh reformasi.
Isu tuntutan  Aliansi Peduli Kemanusiaan
1. segera tuntaskan pelanggaran Ham Teradap mahasiswa papua di jokjakarta.
 2. stop tindakan refresip berbasis diskriminasi dan rasisme teradap mahasiswa Papua.
 3. mendesak kepda pemerinta untuk mengadili ormas milisi sipil reaksioner anti domokrasi. Berikan rasa aman teradap warga Papua dan kelompok minoritas lainnya.
Deemikian pernyataan ini kiranya dapat di tindak lanjuti oleh pihak – pihak yang terkait dalam tindakan refresip yang menimpa pada mahasiswa papua di jokja.
Reformasi 1998 mungkin berhasil membuka sedikit keran demokrasi. Masyarakat kembali bisa menyuarakan pendapatnya. Seharusnya seperti itu. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa keran demokrasi yang baru terbuka sedikit tersebut pelan tapi pasti kembali menutup. Masyarakat yang ingin bersuara baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya kembali akan menghadapi pembukaman serupa. Indonesia sebagai negara hukum yang dipercayakan untk menjalankan konstitusi bertanggung jawab melindungi HAM sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28i ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedang mekanismenya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Untuk menjamin hak asasi itu, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum di dalam masyarakat. Namun, hingga hari ini hak menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan mahasiswa Papua di Yogyakarta didiskriminasi dengan berbagai bentuk. Bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) sehingga tidak dapat melaksanakan hak-hak konstitusinya. Pada hari ini Jumat, 15 Juli 2016 sejak jam 7 pagi, aparat kepolisian bersama dengan kelompok-kelompok reaksioner mengepung dan memblokade asrama mahasiswa Papua Kamasan I. Tidak seorang pun diizinkan keluar ataupun masuk. Bahkan mahasiswa Papua yang keluar untuk membeli makanan ditangkap oleh aparat kepolisian. Sikap kepolisian itu sangat berlebihan dan jelas melanggar HAM. Selain itu, pengerahan pasukan untuk penggepungan serta tindakan represivitas polisi terhadap mahasiswa Papua sendiri perlu dipertanyakan. Selain membungkam perjuangan konstitusional mahasiswa Papua, tindakan represif ini membangun stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis, tindakan, pandangan, dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. Tindakan ini juga memicu terjadinya konflik sosial antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja akibat diskriminasi yang dibangun secara struktural oleh aparat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sikap dan pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak konstitusi sejak awal 2016 hingga hari ini semakin membuat situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tenang. Semakin meresahkan warga Yogyakarta serta membuat citra polisi dari pelindung, pengayom, dan penegak hukum menjadi buruk karena membiarkan terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta Pengepungan terhadap asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pekan lalu membuat mahasiswa Papua di sana masih merasakan kekhawatiran dan tidak merasa aman, terutama terhadap aksi ormas yang terlibat dalam mengintimidasi mereka. Sejumlah mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mahasiswa asal provinsi paling timur Indonesia di Yogyakarta itu merasa khawatir dengan keamanan mereka.Kekhawatiran yang beralasan setelah akhir pekan lalu polisi menutup akses ke asrama dan menangkap setidaknya tujuh mahasiswa di beberapa tempat. "Rasa sakitnya masih ada. Aktivitas kami juga masih was-was. Ada bahasa-bahasa yang dikeluarkan, kan, ada 'monyet, anjing, pulang ke Papua', seakan-akan bahasa itu masih benci kami sampai saat ini." "Kemudian ada gerakan fisik yang coba mereka (ormas) lakukan, yang pertama mereka coba masuk ke dalam asrama, mereka juga sempat tendang-tendang pintu gerbang belakang sama depan. Mereka tidak diamankan," kata Aris Yeimo, Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua. termasuk sebagai upaya 'menyebarkan intoleransi dan membangun persepsi buruk tentang Papua'. Dengan demikian, APK menyampaikan kepada semua lembaga kemanusiaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Solidaritas, Organisasi kemahasiswaan, Pemuda, Perempuan, Ormas Prodem, Ormas Prorakyat, dan semua gerakan yang menjung-jung tinggi nilai-nilai Demokrasi, Hukum dan Ke manusiaan. Mari! Kita bersama-sama melawan sistem yang tidak benar ini.

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com