Kini bukan hanya di Papua, kekerasan dan pembungkaman terhadap hak
berdemokrasi Rakyat Papua dilakukan, namun telah merambat hingga
menyusup ke wilayah-wilayah di luar Papua.
Di kota Yogyakarta,
tepat tanggal 14, 15,16, hingga17 juli 2016 menjadi satu catatan penting
dalam sejarah hangusnya ruang demokrasi bagi Rakyat Papua yang menuntut
hak demokrasi untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa suatu perubahan merupakan hasil dari kontradiksi antara
pro dan kontra. Pembungkaman terhadap aksi Persatuan Rakyat untuk
Pembebasan Papua Barat (PRPPB) merupakan lonjakan kualitas yang
diakibatkan oleh lonjakan kuantitas daripada perjuangan Rakyat Papua
sendiri. Petut diperhatikan bahwa semakin keras dan lebarnya teriakan
Rakyat, semakin merusak indra pendengaran kaum elit borjuasi Indonesia
maupun dunia yang hingga detik ini masih mengeruk seluruh kekayaan alam
bumi Papua.
Teriakan Rakyat Papua kini menjadi perbincangan
hangat di seluruh daratan mulai dari Eropa, Asia, Afrika, Amerika,
Australia, bahkan di daratan Indonesia terbukti dengan front persatuan
untuk pembebasan Papua yang kemudian dibungkam pula negara.
Bukan
hal baru dan telah menjadi basi bahwa militer adalah gacok utama, garda
terdepan negara untuk membungkam suara Pembebasan bagi Rakyat Papua,
sejak 19 Desember 1961 setelah pengumandangan TRIKORA, operasi-operasi
penumpasan kepada Rakyat Papua yang pro terhadap kemerdekaan Papua,
hingga seluruh penyampaian aspirasi di bumi Papua hingga detik ini,
militer adalah ujung tombak negara.
Selain militer, hal yang
juga menjadi alat pembungkaman dan mempertahankan wilayah jajahannya
adalah media-media visual maupun non visual untuk membungkam dan
mengalihkan aspirasi Rakyat demi melindungi kepentingannya. Hal ini
terlihat sangat jelas pada setiap aksi Rakyat di seluruh daratan bumi
yang menolak dominasi kekuasaan kelas, termasuk aksi PRPPB pada tangga
14, 15, & 16. Dan menjadi penting bagi kita untuk mengerti dan tidak
terhanyut dalam arus propaganda yang berbau SARA yang dilakukan oleh
pihak penjajah untuk memecah-belah persatuan kaum tertindas.
Dalam situasi klimaks, penting untuk melahirkan perdebatan dalam pikiran
untuk menjawab pertanyaan "Kepada Siapa kita harus menaruh harapan
untuk memetik buah REVOLUSI?" Hal ini untuk menjaga perjuangan kita agar
tidak jatuh dalam lubang refomasi. Dalam hal ini pula penting menjadi
pertimbangan bagi kita, kutipan tulisan Marx dan Engels dalam dalam
dokument Manifesto Komunis yang menyatakan bahwa akan muncul berbagai
kelompok reformis yang lahir untuk memperbaiki tatanan kapitalisme yang
semakin keropos.
Dan perjuangan perlawanan kita terhadap
penindasan pun kini telah menjadi satu kekuatan yang diperhitungkan.
Namun penting untuk kita pahami bersama bahwa, penjajahan adalah soal
bisnis, negara merupakan alat politik untuk kepentingan ekonomi kelas
yang berkuasa, maka pertahankan persatuan kita untuk menghancurkan
system yang menjarah, mengindividualisasikan, dan mengasingkan setiap
individu manusia ke dalam gua kapitalisme.
Dan persatuan kita
tanpa batas, tapi kita tidak bersatu dengan kaum yang menjalankan mesin
kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme serta kaum yang menjalankan
roda feodalisme dari pusat sampai lokal.