Aliansi Peduli Kemanusiaan Lebih dari setengah abad yang lalu
tepatnya sejak 1 Oktober 1965, kekuasaan Orde Baru berdiri tanpa gugatan
berarti. Selama 32 tahun sang diktator melanggengkan kekuasaannya. Membangun
dinasti di atas pembungkaman demokrasi dan pengkebirian hak asasi. Terus
menerus menggerogoti negeri demi keuntungan pribadi. Tidak terhitung berapa
banyak nyawa dan aset vital yang menjadi korban. Mirisnya, pelaku pelanggar HAM
terberat ini justru dianugerahi gelar Bapak Pembangunan. 21 Mei 1998, reformasi
memang berhasil menyingkirkan diktator Soeharto. Tetapi pergantian penguasa
terbukti tidak banyak merubah keadaan. Hal ini dikarenakan perangkat-perangkat
penting di wilayah ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya tidak banyak
berubah dan masih tetap dipegang oleh antek-antek Orde Baru. Kehidupan
masyarakat Indonesia hari ini yang kian memburuk adalah warisan dari politik
Orde Baru yang tak pernah betul-betul diputus oleh reformasi.
Isu tuntutan Aliansi Peduli Kemanusiaan
1. segera tuntaskan pelanggaran Ham Teradap
mahasiswa papua di jokjakarta.
2.
stop tindakan refresip berbasis diskriminasi dan rasisme teradap mahasiswa
Papua.
3.
mendesak kepda pemerinta untuk mengadili ormas milisi sipil reaksioner anti
domokrasi. Berikan rasa aman teradap warga Papua dan kelompok minoritas
lainnya.
Deemikian pernyataan ini kiranya dapat di
tindak lanjuti oleh pihak – pihak yang terkait dalam tindakan refresip yang
menimpa pada mahasiswa papua di jokja.
Reformasi 1998 mungkin berhasil membuka sedikit keran demokrasi.
Masyarakat kembali bisa menyuarakan pendapatnya. Seharusnya seperti itu. Akan
tetapi, fakta menunjukkan bahwa keran demokrasi yang baru terbuka sedikit
tersebut pelan tapi pasti kembali menutup. Masyarakat yang ingin bersuara baik
itu di dunia nyata maupun di dunia maya kembali akan menghadapi pembukaman
serupa. Indonesia sebagai negara hukum yang dipercayakan untk menjalankan
konstitusi bertanggung jawab melindungi HAM sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28i
ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” menyampaikan
pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedang
mekanismenya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Untuk menjamin hak asasi itu, negara telah
memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan
penegak hukum di dalam masyarakat. Namun, hingga hari ini hak menyampaikan
pendapat di muka umum yang dilakukan mahasiswa Papua di Yogyakarta
didiskriminasi dengan berbagai bentuk. Bahkan direpresi oleh aparat keamanan
(TNI dan POLRI) sehingga tidak dapat melaksanakan hak-hak konstitusinya. Pada
hari ini Jumat, 15 Juli 2016 sejak jam 7 pagi, aparat kepolisian bersama dengan
kelompok-kelompok reaksioner mengepung dan memblokade asrama mahasiswa Papua
Kamasan I. Tidak seorang pun diizinkan keluar ataupun masuk. Bahkan mahasiswa
Papua yang keluar untuk membeli makanan ditangkap oleh aparat kepolisian. Sikap
kepolisian itu sangat berlebihan dan jelas melanggar HAM. Selain itu,
pengerahan pasukan untuk penggepungan serta tindakan represivitas polisi
terhadap mahasiswa Papua sendiri perlu dipertanyakan. Selain membungkam
perjuangan konstitusional mahasiswa Papua, tindakan represif ini membangun
stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis,
tindakan, pandangan, dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh polisi. Tindakan ini juga memicu terjadinya konflik sosial
antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja akibat diskriminasi yang
dibangun secara struktural oleh aparat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sikap dan
pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan
hak konstitusi sejak awal 2016 hingga hari ini semakin membuat situasi di
Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tenang. Semakin meresahkan warga Yogyakarta
serta membuat citra polisi dari pelindung, pengayom, dan penegak hukum menjadi
buruk karena membiarkan terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan
rasis di Yogyakarta Pengepungan terhadap asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta
pekan lalu membuat mahasiswa Papua di sana masih merasakan kekhawatiran dan
tidak merasa aman, terutama terhadap aksi ormas yang terlibat dalam
mengintimidasi mereka. Sejumlah mahasiswa Papua yang tinggal di asrama
mahasiswa asal provinsi paling timur Indonesia di Yogyakarta itu merasa
khawatir dengan keamanan mereka.Kekhawatiran yang beralasan setelah akhir pekan
lalu polisi menutup akses ke asrama dan menangkap setidaknya tujuh mahasiswa di
beberapa tempat. "Rasa sakitnya masih ada. Aktivitas kami juga masih
was-was. Ada bahasa-bahasa yang dikeluarkan, kan, ada 'monyet, anjing, pulang
ke Papua', seakan-akan bahasa itu masih benci kami sampai saat ini."
"Kemudian ada gerakan fisik yang coba mereka (ormas) lakukan, yang pertama
mereka coba masuk ke dalam asrama, mereka juga sempat tendang-tendang pintu
gerbang belakang sama depan. Mereka tidak diamankan," kata Aris Yeimo,
Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua. termasuk sebagai upaya 'menyebarkan
intoleransi dan membangun persepsi buruk tentang Papua'. Dengan demikian, APK
menyampaikan kepada semua lembaga kemanusiaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Solidaritas, Organisasi kemahasiswaan, Pemuda, Perempuan, Ormas Prodem,
Ormas Prorakyat, dan semua gerakan yang menjung-jung tinggi nilai-nilai
Demokrasi, Hukum dan Ke manusiaan. Mari! Kita bersama-sama melawan sistem yang
tidak benar ini.
0 komentar:
Posting Komentar