Isinga: Sebuah Novel yang Kisah Percintaan Sepasang Kekasih di Tanah Papua
Walaupun tertulis roman papua, tak seluruhnya bercerita tentang percintaan.
Pendidikan, culture, sosial budaya, pengaruh dunia luar, posisi wanita, peran
pemerintahan, brutalisme pemerintah saat itu, Posisi lelaki dalam masyarakat,
alam papua,semua terangkum dengan apik dalam buku ini simple.
Isinga mempunyai
arti “Ibu”, tetapi cerita ini bukan tentang Ibu yang sesungguhnya, tetapi
tentang Bumi Papua yang dianggap seperti seorang ibu, dimana seseorang
dilahirkan, dibesarkan, dan mendapatkan semua pengalaman hidup. Dimana bumi Papua memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya yang dibutuhkan, seperti kasih
sayang seorang ibu kepada anaknya.
Novel ini
menceritakan kisah percintaan sepasang kekasih; Irewa dan Meage. Perjalanan
hidup mereka yang jauh dari rencana indah mereka. Kegagalan untuk hidup
bersama, dan kebesaran hati Irewa untuk menerima posisinya sebagaiyonime (alat perdamaian) untuk
dua suku yang berperang agar tak lagi terjadi perang, membuat Meage memilih
pergi dan tak kembali ke Aitubu. Irewa yang di posisikan sebagai seorang Yonime
tak mampu melakukan apapun demi masyarakat sukunya, dan dengan berbesar hati
menerima keputusan kedua Desa itu walaupun tanpa persetujuannya. Irewa sadar
apa yang dia lakukan adalah demi perdamaian dua Desa tersebut. Perjuangan
wanita papua dalam kehidupan mereka digambarkan dengan jelas dalam sosok Irewa.
betapa hak-haknya hilang sebagai wanita bebas hanya demi kepentingan banyak
orang.
Irewa yang
akhirnya menerima pernikahan itu, menjadi seorang istri dari seorang laki laki
yang bernama Malom yang pada awalnya di tolaknya ketika melamarnya dahulu.
Cerita Isinga ini menceritakan bagaimana posisi seorang wanita Papua di tengah
tengah masyarakat, dengan segala kewajiban dan haknya sebagai seorang istri.
Wanita di Papua seperti seorang pembantu dan budak. Mereka harus melahirkan
sebanyak mungkin anak, mengurus anak tanpa bantuan lelaki, memasak,
membersihkan ternak babi, mencari betatas untuk mereka makan, menyelam mencari
ikan, mencari kayu bakar, membelahnya, merawat sagu, membersihkan semak dan
masih banyak hal lagi tanpa boleh mengeluh. What the Hell in Earth this place
is!!!
Ada sebuah
Tulisan yang membuat sisi feminis saya bergejolak, dan ini adalah posisi wanita
sesungguhnya yang berada di Papua:
“Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tidak
pernah mengeluh. Tidak pernah protes. Tidak pernah membantah. Tidak pernah
bersedih. Tidak pernah bicara kasar. Tidak pernah menyakiti hati orang lain.
Tidak suka bertengkar. Tidak pernah marah. Tidak pernah mendendam. Tidak pernah
punya perasaan dengki pada orang lain. Senang membantu orang lain. Tidak
mengeluh kalau ada kesulitan. Tidak pernah bicara kasar. Bersuara lembut. Tidak
pernah berkelahi. Tidak suka mencari masalah. Tidak senang menyalahkan orang
lain. Tidak pernah menjengkelkan orang lain. Tidak pernah membicarakan orang
lain. Tidak pelit. Tidak serakah. Tidak melakukan hal hal buruk, tidak terpuji.
Sabar.
Tabah. Hidup yang baik.
Bekerjalah dengan giat. Memiliki pengetahuan. Bisa menunjukkan ketrampilan
tangan kiri. Bisa menunjukkan ketrampilan tangan kanan. Selalu menyiapkan
makanan untuk keluarga. Menghidangkan hasil kebun dengan setulus hati.
Peremopuan harus bisa mengurus suami dengan baik. Mengurus keluarga dengan
baik. Mampu bergaul ke semua orang dengan baik. Budi bahasa baik. Tutur kata
manis. Perempuan harusselalu gembira seperti burung eke yang berwarna merah
dan burung holiang yang berwarna hijau.
Tulisan di atas
adalah nyanyian nasehat untuk wanita suku Hobone. Betapa mereka dituntut
sedemikian tingginya untuk menjadi perempuan yang sempurna di Hobone. I am sure I will not be a good woman in
Hobone if the criteria are like above. Lalu apa peran laki laki disana???
apakah hanya berperan memberikan spermanya untuk menjadikan nya anak, kemudian
begitu saja melepas kewajibannya untuk mendukung istri??? Pertanyaan
itu membuat saya cukup mengelus dada, dan bersyukur sebenarnya. Bahwa saya
masih diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, merasakan kesetaraan laki
laki dan wanita, dimana saya berhak menuntut laki laki untuk juga bekerja,
bukan dengan alasan melepaskan kemandirian lalu bersandar sepenuhnya terhadap
sang wanita.
I will not be able to stand for a man like that!
Kehidupan suku
Hobone, Aitubu, keadaan primitive masyarakat disana, tergambarkan dengan
gamblang. Betapa upacara upcara, kegiatan adat, perilaku mereka dalam
berperang, kebengisan tentara ketika melakukan pembantaian terceritakan dengan
detail seperti kita terseret melihat dengan mata kita sendiri, terkadang
membuat bergidik. Bagaimana pemerintahan kala itu sangat otoriter, dan kejam
terhadap suku suku pedalaman, hingga tega membantai suku yang tak mengikuti
perintah. What the hell in Earth
at that time!! Bukan memberikan pengayoman, tapi lebih memberikan
teror yang menakutkan. Ketakutan terhadap gerakan memerdekakan daerahnya
membuat pemerintah berlaku keras terhadap mereka. Alih alih berdiskusi tentang
baik buruk, pemerintah lebih memilih bertindak diktator.
Megae yang
akhirnya ditinggal menikah oleh Irewa, melanjutkan hidupnya jauh meninggalkan
sukunya, dan menetap di suku yang lain. Megae adala seorang pemuda suku Aitubu
yang mendapatkan pendidikan dasar dalam sekola setahun yang didirikan oleh
seorang Dokter di suku pedalaman tersebut. Pengetahuan dasar tentang kedokteran
menjadikannya dipercaya oleh masyarakat lain.
Ketelitian
penceritaan alam papua begitu menggoda, sehingga membawa kita seperti memasuki
hutan hutan papua, merasakan beratnya hidup di antara keterbatasan fasilitas,
tekanan pemerintah, ketakutan peperanga, tapi juga membuat kita merasa betapa
sederhanya hidup disana, betapa kecilnya manusia ditengah kehidupan
hutan.
Keadaan masyarakat
papua pada saat itu yang sangat primitif membuat mereka tidak mengenal apa itu
pendidikan. Pendidikan dalam sekolah setahun yang Irewa dan Meage rasakan
membuat mereka lebih bijak dalam melihat kehidupan, mengambil keputusan, dan
berpikir jauh ke depan.
Pengaruh dunia
luar yang datang digambarkan dengan simple, dengan sederhana, bagaimana
pengaruh itu membuat perubahan yang cukup signifikan dalam tata cara
bermasyarakat mereka, bagaimana membuat mereka berubah cara pandang dalam
hidup.
Novel ini
Indah. Membawa kita melihat dunia lain selain dunia fancy yang kita nikmati saat
ini. **Papuamahasiswa
0 komentar:
Posting Komentar